Potret Pelaut Cilik Galesong
Masih ingatkah
kalian dengan lagu anak yang bercerita
tentang gagahnya seorang pelaut?. Dalam lagu itu ada sepenggal lirik seperti
ini “nenek moyangku seorang pelaut, menerjang ombak tiada takut melawan ombak
sudah biasa”. Sebuah lagu yang merupakan refleksi jati diri dari masyarakat
sulawesi selatan pada umumnya. Dunia
pelayaran dan bahari dari dahulu kala memang sudah mendarah daging pada etnis
bugis-makassar. Seluruh Indonesia bahkan dunia mengenal ketangguhan dan
keahlian nenek moyang kita dalam mengarungi samudera-samudera dunia. Sebuah kebanggaan tersendiri mendapatkan
warisan budaya yang begitu hebat ini.
Kejayaan dan
kebanggaan ini hendaknya tetap dipertahankan. Karena kebanggaan dan mungkin
faktor ekonomi dan kurang sadarnya akan pentingnya pendidikan sehingga hak
mahluk yang satu ini terenggut. Yah, “pelaut cilik” inilah yang saya maksudkan.
Pada suatu saat mengajar di sebuah Sekolah Dasar (SD) saya mengabsen
siswa-siswi. Saat itu ada beberapa siswa yang tidak hadir dan pada saat saya
menanyakan alasan kenapa tidak hadir,
siswa lainnya menjawab dalam bahasa indonesia yang bercampur dengan
dialek dan logat khas makassar, “tidak hadirki itu kak karena berhenti mi
sekolah”. Kemudian saya balik bertanya
“kenapa na berhenti sekolah?”, siswa itu kemudian menjawab “anu kak,
pergi ki ke laut sama orang tuanya”. Hal ini mencengangkan saya dan untuk
mendapat keterangan yang lebih jelas saya bertanya kepada gurunya. Sang guru membenarkan hal tersebut jika memang
banyak siswa terutama laki-laki putus sekolah karena manjadi nelayan atau
menjadi ABK (Anak Buah Kapal) untuk mencari telur ikan terbang yang
menjadi komoditi ekspor ke beberapa
negara maju seperti Jepang dan China serta Kanada. Dari fakta yang saya temukan
selama mengabdikan diri di masyarakat dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN) di
desa palalakang kec. Galesong kabupaten Takalar
Sulawesi Selatan membuat saya prihatin dan miris melihatnya. Hak-hak anak yang seyogyanya mengenyam
pendidikan dan masa bermainnya lenyap begitu saja.
Psikologis anak
juga akan terganggu karena tidak melewati fase alamiah manusia sebagaimana
anak-anak lainnya. Di saat mahluk seusianya sedang bermain dan belajar di
sekolah, mereka sudah ada ditengah laut menerjang ombak dan berbulan-bulan
menjadi “manusia air”. Padahal anak-anak
inilah yang kelak akan membangun indonesia. Bukan berarti bila si anak ini
menjadi nelayan maka dia tidak dapat memberi kontribusi bagi masyarakat namun
alangkah indahnya bila si anak disuapi ilmu pengetahuan terlebih dahulu. Dengan
ilmu mereka miliki, misalnya ilmu perikanan atau kelautan, mereka dapat
mengaplikasikan pada tanah kelahirannya sehingga potensi perikanan dan kelautan
serta sektor dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Apalagi melihat
kondisi alam di galesong ini sangatlah potensial. Betapa indahnya jika hal ini
bisa diwujudkan. Harapan untuk itu masih ada selama kita semua berkomitmen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar