Senin, 22 April 2013

Potret Pelaut Cilik Galesong


Potret Pelaut Cilik Galesong
Masih ingatkah kalian dengan  lagu anak yang bercerita tentang gagahnya seorang pelaut?. Dalam lagu itu ada sepenggal lirik seperti ini “nenek moyangku seorang pelaut, menerjang ombak tiada takut melawan ombak sudah biasa”. Sebuah lagu yang merupakan refleksi jati diri dari masyarakat sulawesi selatan  pada umumnya. Dunia pelayaran dan bahari dari dahulu kala memang sudah mendarah daging pada etnis bugis-makassar. Seluruh Indonesia bahkan dunia mengenal ketangguhan dan keahlian nenek moyang kita dalam mengarungi samudera-samudera dunia.  Sebuah kebanggaan tersendiri mendapatkan warisan budaya yang begitu hebat ini. 
Kejayaan dan kebanggaan ini hendaknya tetap dipertahankan. Karena kebanggaan dan mungkin faktor ekonomi dan kurang sadarnya akan pentingnya pendidikan sehingga hak mahluk yang satu ini terenggut. Yah, “pelaut cilik” inilah yang saya maksudkan. Pada suatu saat mengajar di sebuah Sekolah Dasar (SD) saya mengabsen siswa-siswi. Saat itu ada beberapa siswa yang tidak hadir dan pada saat saya menanyakan alasan kenapa tidak hadir,  siswa lainnya menjawab dalam bahasa indonesia yang bercampur dengan dialek dan logat khas makassar, “tidak hadirki itu kak karena berhenti mi sekolah”. Kemudian saya balik bertanya  “kenapa na berhenti sekolah?”, siswa itu kemudian menjawab “anu kak, pergi ki ke laut sama orang tuanya”. Hal ini mencengangkan saya dan untuk mendapat keterangan yang lebih jelas saya bertanya kepada gurunya. Sang  guru membenarkan hal tersebut jika memang banyak siswa terutama laki-laki putus sekolah karena manjadi nelayan atau menjadi ABK (Anak Buah Kapal) untuk mencari telur ikan terbang yang menjadi  komoditi ekspor ke beberapa negara maju seperti Jepang dan China serta Kanada. Dari fakta yang saya temukan selama mengabdikan diri di masyarakat dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa palalakang kec. Galesong kabupaten Takalar  Sulawesi Selatan membuat saya prihatin dan miris melihatnya.  Hak-hak anak yang seyogyanya mengenyam pendidikan dan masa bermainnya lenyap begitu saja.
Psikologis anak juga akan terganggu karena tidak melewati fase alamiah manusia sebagaimana anak-anak lainnya. Di saat mahluk seusianya sedang bermain dan belajar di sekolah, mereka sudah ada ditengah laut menerjang ombak dan berbulan-bulan menjadi “manusia air”.  Padahal anak-anak inilah yang kelak akan membangun indonesia. Bukan berarti bila si anak ini menjadi nelayan maka dia tidak dapat memberi kontribusi bagi masyarakat namun alangkah indahnya bila si anak disuapi ilmu pengetahuan terlebih dahulu. Dengan ilmu mereka miliki, misalnya ilmu perikanan atau kelautan, mereka dapat mengaplikasikan pada tanah kelahirannya sehingga potensi perikanan dan kelautan serta sektor dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Apalagi melihat kondisi alam di galesong ini sangatlah potensial. Betapa indahnya jika hal ini bisa diwujudkan. Harapan untuk itu masih ada selama kita semua berkomitmen.